1. Salimul Aqidah (aqidahnya
bersih)
Akidah
adalah asas dari amal.Amal-amal yang baik dan diridhai Allah lahir dari aqidah
yang bersih. Dari sini akan lahir pribadi-pribadi yang memiliki jiwa merdeka,
keberanian yang tinggi, dan ketenangan. Sebab, tak ada ikatan dunia yang mampu
membelenggunya, kecuali ikatan kepada Allah swt. Seorang kader dakwah yang baik
akan selalu menjaga kemurnian aqidahnya dengan memperhatikan amalan-amalan yang
bisa mencederai keimanan dan mendatangkan kemusyrikan. Sebaliknya, selalu
berusaha melakukan amalan-amalan yang senantiasa meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt.
Aplikasi:
Senantiasa bertaqorrub (menjalin hubungan) dengan Allah, ikhlas dalam setiap
amal, mengingat hari akhir dan bersiap diri menghadapinya, melaksanakan ibadah
wajib dan sunnah, dzikrullah di setiap waktu dan keadaan, menjauhi praktik yang
membawa pada kemusyrikan. Dengan aqidah yang bersih, seorang
muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang
kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya.
Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala
perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya:Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS
6:162).
Karena
memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam
da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan
aqidah, iman atau tauhid.
2.
Shahihul Ibadah (ibadahnya benar)
Ibadah,
wajib dan sunnah, merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Allah swt.
Kedekatan seorang hamba ditentukan oleh intensitas ibadahnya. Ibadah menjadi
salah satu pintu masuk kemenangan dakwah. Sebab, ibadah yang dilakukan dengan
ihsan akan mendatangkan kecintaan Allah swt. Dan kecintaan Allah akan
mendatangkan pertolongan.
Aplikasi:
Menjaga kesucian jiwa, berada dalam keadaan berwudhu di setiap keadaan, khusyu
dalam shalat, menjaga waktu-waktu shalat, biasakan shalat berjamaah di masjid,
laksanakan shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dengan bacaan yang baik, puasa
Ramadhan, laksanakan haji jika ada kesempatan. dalam satu haditsnya;
beliau menyatakan: “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari
ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan
haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur
penambahan atau pengurangan.
3.
Matinul Khuluq (akhlaqnya tegar)
Seorang
kader dakwah harus ber-iltizam dengan akhlaq islam. Sekaligus memberikan
gambaran yang benar dan menjadi qudwah (teladan) dalam berperilaku. Kesalahan khuliqiyah
pada seorang kader dakwah akan berdampak terhadap keberhasilan dakwah.
Aplikasi: Tidak takabur, tidak dusta,
tidak mencibir dengan isyarat apapun, tidak menghina dan meremehkan orang lain,
memenuhi janji menghindari hal yang sia-sia, pemberani, memuliakan tetangga.
Bersungguh-sungguh dalam bekerja, menjenguk orang sakit, sedkit bercanda,
tawadhu tanpa merendahkan diri. Karena begitu penting memiliki akhlak
yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki
akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung
sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang
artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang
agung (QS 68:4).
4.
Qadirul’alal Kasb (kemampuan berpenghasilan)
Kita
mengenal prinsip dakwah yang berbunyi ”shunduquna juyubuna (sumber keuangan
kita dari kantong kita sendiri)”. Yang berarti setiap kader harus menyadari
bahwa dakwah membutuhkan pengorbanan harta. Oleh karena itu setiap kader dakwah
harus senantiasa bekerja dan berpenghasilan dengan cara yang halal. Tidak
menjadikan dakwah sebagai sumber kehidupan.
Aplikasi:
Menjauhi sumber penghasilan haram, menjauhi riba, membayar riba, membayar
zakat, menabung meski sedikit, tidak menunda hak dalam melaksanakan hak orang
lain, bekerja dan berpenghasilan, tidak berambisi menjadi pegawai negeri.
Mengutamakan produk umat Islam, tidak membelanjakan harta kepada non-muslim.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun
alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim.
Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan.
Mempertahankan
kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang
memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang
mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian
dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim
boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan
umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik.
Oleh
karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits
dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut
memiliki keahlian apa
saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat
rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan
mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
5.
Mutsaqaful Fiqr (pikirannya intelek)
Intelektualitas
seorang kader dakwah menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah.
Sejarah para nabi juga memperlihatkan hal itu. Kita melihat bagaimana
ketinggian intelektualitas Nabi Ibrahim, dengan bimbingan wahyu, mampu
mematahkan argumentasi Namrud. Begitu pula kecerdasan Rasul dalam mengemban
amanah dakwahnya, sehingga ia digelari fathonah (orang yang cerdas).
Aplikasi:
Baik dalam membaca dan menulis. Upayakan mampu berbahasa Arab, menguasai hal-hal
tertentu dalam masalah fiqih seperti shalat, thaharah dan puasa, memahami
syumuliatul Islam, memahami ghazwul fikri, mengetahui problematika kaum
nasional dan internasional, menghafal al-Qur’an dan hadits, memiliki
perpustakaan pribadi sekecil apapun. Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful
fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting.
Karena
itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan
Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir,
misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang,
khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
Di
dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus
dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki
wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya
suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih
dahulu.Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan
intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah:
“samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”,
sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS
39:9).
6.
Qawiyul Jism (fisiknya kuat)
Beban
dakwah yang diemban para kader dakwah sangat berat. Kekuatan ruhiyah dan
fikriyah saja tidak cukup untuk mengemban amanah itu. Harus ditopang oleh
kekuatan fisik yang prima. Sejumlah keterangan al-Qur’an dan Hadits menjelaskan
betapa pentingnya aspek ini.
Aplikasi:
Bersih pakaian, badan dan tempat tinggal, menjaga adab makan dan minum sesuai
dengan sunnah, berolahraga, bangun sebelum fajar, tidak merokok, selektif dalam
memilih produk makanan, hindari makanan/minuman yang menimbulkan ketagihan,
puasa sunnah, memeriksakan kesehatan. Oleh karena itu, kesehatan jasmani
harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih
utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai
sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai
seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang
penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min yang kuat
lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim).
7.
Mujahidu Linafsihi (bersungguh-sungguh)
Bersungguh-sungguh
adalah salah satu ciri orang mukmin. Tak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa
kesungguhan. Kesadaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat, dan
kehidupan abadi adalah kehidupan akhirat, akan melahirkan kesungguhan dalam
menjalani kehidupan.
Aplikasi:
Menjauhi segala yang haram, menjauhi tempet-tempat maksiat, memerangi dorongan
nafsu, selalu menyertakan niat jihad, hindari mengkonsumsi yang mubah,
menyumbangkan harta untuk amal islami, menyesuaikan perkataan dengan perbuatan,
memenuhi janji, sabar, berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Melaksanakan
kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya
kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam
melawan hawa nafsu.
Oleh
karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk
pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman
seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
8.
Munazham fi syu’unihi (teratur dalam semua urusannya)
Seorang
kader dakwah harus mampu membangun keteraturan dalam kehidupan pribadi dan
keluarganya agar bisa menghadapi persoalan umat yang rumit dan kompleks.
Apalikasi:
Memperbaiki penampilan, jadikan shalat sebagai penata waktu, teratur di dalam
rumah dan tempat kerjanya, disiplin dalam bekerja, memprogram semua urusan,
berpikir secara ilmiah untuk memecahkan persoalan, tepat waktu dan teratur.
Dengan
kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang
dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya.
Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih
ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam
menunaikan tugas-tugasnya.
9.
Haritsun ’ala waqtihi (efisien menjaga waktu)
Untuk menggambarkan betapa pentingnya
waktu, ada pepatah mengatakan ”waktu ibarat pedang”. Bila tak mampu
dimanfaatkan maka pedang waktu akan menebas leher kita sendiri. Seorang kader
harus mampu seefektif mungkin memanfaatkan waktu yang terus bergerak. Tak boleh
ada yang terbuang percuma.
Aplikasi: Bangun pagi, menghabiskan waktu
untuk belajar, mempersingkat semua urusan (tidak bertele-tele). Mengisi waktu
dengan hal-hal yang bermanfaat, tidak tidur setelah fajar.
Allah
Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam
sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak
sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan:
“Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu
yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
10.
Nafi’un Lighairihi (berguna bagi orang lain)
Rasul
menggambarkan kehidupan seorang mukmin itu seperti lebah yang akan memberi
manfaat pada lingkungan sekitarnya. Kader dakwah memberi manfaat karena setiap
ucapan dan gerakannya akan menjadi teladan bagi sekitarnya.
Aplikasi:
Melaksanakan hak orang tua, ikut berpartisipasi dalam kegembiraan, membantu
yang membutuhkan, menikah dengan pasangan yang sesuai, komitmen dengan adab
Islam di dalam rumah, melaksanakan hak-hak pasangannya (suami-istri),
melaksanakan hak-hak anak, memberi hadiah pada tetangga, mendo’akan yang
bersin.
Maka jangan sampai seorang muslim adanya
tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap
muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal
untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang
muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
Dalam
kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang
muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita
standarisasikan pada diri kita masing-masing.
Komentar
Posting Komentar